Monday, 21 May 2012

PROFESSIONAL ARTIST WANNABE :)


Jilbab itu nggak hanya membuat seseorang menjadi terlihat cantik saat menggunakannya, tapi bisa bikin orang yang mengenakannya pun bernasib hampir mirip artis.

Penggunaan jilbab di negara yang mayoritas agamanya adalah muslim, memang hal yang wajar. Tetapi lain halnya ketika kita menggunakan jilbab di negara yang mayoritas agamanya bukan muslim. Jilbab menjadi barang baru yang unik, dan bikin setiap orang penasaran dengan seluk beluk jilbab, bagaimana penggunaannya, ada berapa warna, berapa kali hendaknya mencuci jilbab, dan banyak pertanyaan aneh lainnya yang menurut gue beyond my understanding. Ya gimana enggak, banyak orang2 Buddhist, catholic, ataupun Taoism yang nanya ke gue dengan pertanyaan menggelitik: “Bolehkah kamu mencuci jilbab? Dan apa enggak masalah kalo jilbab kamu dikasih wangi2an? Enggak dosa?”

Seneng sih, ketika banyak orang excited dan want to know banget, tapi terkadang bingung juga njelasinnya kalo mereka nanya gini: “kalo udah nikah, kamu lepas jilbab nggak? Trus sepanjang hari kamu nutup rambutmu pake jilbab? Siapa aja yang boleh liat rambutmu?”
Hal tersebut bisa banget dijelaskan pada orang yang memang paham dengan keberadaan jilbab, maksud gue ya kayak orang non muslim di negara kita ini. Mereka pasti ngerti kalo dijelasin, tapi masyarakat non muslim di negara lain nggak begitu aja paham dan bisa menerima penjelasan kita. Bisa panjang urusannya, dan alhasil kita malah ngasih kuliah ke mereka.
Misalnya dengan pertanyaan tadi, jawabannya bakal gini: “ya walaupun udah nikah, nggak bakal lepas jilbab. Karena di agama Islam, wajib hukumnya pake jilbab bagi perempuan yang udah baligh. Dan yang boleh liat rambut dan aurat kami hanyalah kami sebut dengan ‘mahram’, yang disebut mahram kami itu adalah kedua orang tua kandung, kakak, adik, kakek, nenek, suami, anak. Kami nggak sepanjang hari juga pake jilbab, hanya ketika kami bertemu dengan yang bukan mahram kami aja.”
Trus disusul pertanyaan selanjutnya dari mereka gini: “Siapa yang bikin aturan mahram? Kalo kepanasan gimana? Emang ada perintahnya di kitab sucimu? Trus kenapa kalian nggak boleh makan babi, anjing, kodok, dsb dst, kok ribet banget sih? Ada aturannya nggak di kitab sucimu? Trus di agama kalian juga membolehkan lelaki punya banyak istri, gimana bisa? Padahal perempuan nggak boleh punya banyak suami kan? Kok nggak adil sih?”
Ya begitulah, diskusinya jadi makin panjang, makin rumit, makin bikin bulu kuduk lemes nggak bisa berdiri lagi selamanya. Daya berpikir logika mereka terlalu kuat, agaknya cukup sulit mengimani suatu hal. Jadi, gue bener2 harus njelasin dengan hati2 dan jelas buangettt, supaya Islam bisa diterima dengan akal sehat oleh mereka. Kadang, kalo gue bener2 kepentok oleh vocabulary keagamaan gue yang minim, gue pending dulu, dan gue janji bakal diskusiin hal tersebut keesokan harinya, kalo ketemu. Haha.

Oke, balik lagi ke topic inti postingan gue kali ini, tentang penggunaan jilbab yang menuai banyak ‘kenggumunan’ orang2 non muslim.

Selama gue dan temen2 berada di negara yang mayoritas penduduknya adalah Buddhist dan Taoism (percaya pada nenek moyang/ roh2 nenek moyang), kami bener2 berasa mirip artis. Hal itu nggak lain nggak bukan adalah karena jilbab. Bahkan nggak sedikit orang yang tiba2 berubah sosok jadi paparazzi demi bisa mendapatkan foto kami. Mereka dengan santai dan excited-nya loh, memfoto kami secara sembunyi-sembunyi. Awalnya sih gue seneng2 aja, tapi lama kelamaan gue ngerasa risih. Takutnya, foto gue dibikin aneh2, mukanya gue, tapi badannya badan orang lain yang lagi bugil. Oh my god, that’s not funny.

Kemudian, ketika kami pergi ke Tamsui, salah satu tempat wisata di Taiwan yang ada pelabuhannya, kami disambut dengan puluhan fotografer amatiran yang ngantri dan memohon dengan sangat untuk bisa memfoto kami sebagai object fotonya. Berawal dari gue, cici, kak ida, mbak cendy, mbak susan, n kak aric yang lagi foto2 di pintu masuk tempat wisata tersebut, kemudian dari kejauhan muncullah berpuluh2 sosok makhluk2 paruh baya yang mengalungkan kamera fotografi dengan berbagai macam merk unggulan, Nikon, canon, dll. Sepintas kalo ngeliat gaya mereka, nggak ditangguhkan lagi kehebatan memotretnya, secara kameranya oke punya mameeennn, mungkin sampe belasan hingga puluhan megapixel. Tapi setelah ngeliat hasil foto mereka, ampuuunnn kacrut banget deh istilah kasarnya. Bener2 amatiran, terlalu banyak shaking n gak fokus. Ya nggak bermaksud sombong juga sih, bagusan hasil jepretan gue deh kemana-mana. Hahahaha.

Awalnya, mereka tertarik sama Citra/ Cici, temen gue, mereka minta Cici untuk difoto, tapi matanya aja yang keliatan, mukanya ditutup cadar gitu. Tapi akhirnya, semua dari kami pun diminta untuk jadi objek. Gue, kak ida, mbak susan, n mbak cendy, diminta untuk jadi objek latihan fotografi tapi Cuma punggungnya yang difoto dengan laut sebagai backgroundnya. Pada mulanya gue enjoy, tapi lama kelamaan ngganggu banget, bahkan hampir 30 menit kami disuruh jadi objek foto mereka. Berkali2 gue bilang, “is that enough?” dan berkali2 pula mereka bilang: “not yet, once more.” Bilangnya sih once more, tapi ya nyatanya more n more n more. Dan setiap disudahkan, kemudian gue pindah ke tempat lain, mereka ngikutin dan tetep aja nyuri2 foto, dan ada pula yang masih getol minta foto kami.

Sebagai buktinya, gue tampilin beberapa bukti foto ketika kami jadi artis sehari. No hoax lho ini :)






Dahsyat banget kan? Haha. Oiya, nggak cuma punggung aja yang difoto, tapi begitu liat kaki gue, mereka malah memotret kaki gue n temen2 lainnya, iya KAKI, KAKI SODARA-SODARA, KAKI yang difoto, bukan muka, bukan, bukan banget!!!

No comments:

Post a Comment