Jilbab itu nggak hanya membuat seseorang menjadi terlihat
cantik saat menggunakannya, tapi bisa bikin orang yang mengenakannya pun
bernasib hampir mirip artis.
Penggunaan jilbab di negara yang mayoritas agamanya adalah
muslim, memang hal yang wajar. Tetapi lain halnya ketika kita menggunakan
jilbab di negara yang mayoritas agamanya bukan muslim. Jilbab menjadi barang
baru yang unik, dan bikin setiap orang penasaran dengan seluk beluk jilbab,
bagaimana penggunaannya, ada berapa warna, berapa kali hendaknya mencuci
jilbab, dan banyak pertanyaan aneh lainnya yang menurut gue beyond my
understanding. Ya gimana enggak, banyak orang2 Buddhist, catholic, ataupun
Taoism yang nanya ke gue dengan pertanyaan menggelitik: “Bolehkah kamu mencuci
jilbab? Dan apa enggak masalah kalo jilbab kamu dikasih wangi2an? Enggak dosa?”
Seneng sih, ketika banyak orang excited dan want to know
banget, tapi terkadang bingung juga njelasinnya kalo mereka nanya gini: “kalo
udah nikah, kamu lepas jilbab nggak? Trus sepanjang hari kamu nutup rambutmu
pake jilbab? Siapa aja yang boleh liat rambutmu?”
Hal tersebut bisa banget dijelaskan pada orang yang memang
paham dengan keberadaan jilbab, maksud gue ya kayak orang non muslim di negara
kita ini. Mereka pasti ngerti kalo dijelasin, tapi masyarakat non muslim di
negara lain nggak begitu aja paham dan bisa menerima penjelasan kita. Bisa
panjang urusannya, dan alhasil kita malah ngasih kuliah ke mereka.
Misalnya dengan pertanyaan tadi, jawabannya bakal gini: “ya
walaupun udah nikah, nggak bakal lepas jilbab. Karena di agama Islam, wajib
hukumnya pake jilbab bagi perempuan yang udah baligh. Dan yang boleh liat
rambut dan aurat kami hanyalah kami sebut dengan ‘mahram’, yang disebut mahram
kami itu adalah kedua orang tua kandung, kakak, adik, kakek, nenek, suami,
anak. Kami nggak sepanjang hari juga pake jilbab, hanya ketika kami bertemu
dengan yang bukan mahram kami aja.”
Trus disusul pertanyaan selanjutnya dari mereka gini: “Siapa
yang bikin aturan mahram? Kalo kepanasan gimana? Emang ada perintahnya di kitab
sucimu? Trus kenapa kalian nggak boleh makan babi, anjing, kodok, dsb dst, kok
ribet banget sih? Ada aturannya nggak di kitab sucimu? Trus di agama kalian
juga membolehkan lelaki punya banyak istri, gimana bisa? Padahal perempuan
nggak boleh punya banyak suami kan? Kok nggak adil sih?”
Ya begitulah, diskusinya jadi makin panjang, makin rumit,
makin bikin bulu kuduk lemes nggak bisa berdiri lagi selamanya. Daya berpikir
logika mereka terlalu kuat, agaknya cukup sulit mengimani suatu hal. Jadi, gue
bener2 harus njelasin dengan hati2 dan jelas buangettt, supaya Islam bisa
diterima dengan akal sehat oleh mereka. Kadang, kalo gue bener2 kepentok oleh
vocabulary keagamaan gue yang minim, gue pending dulu, dan gue janji bakal
diskusiin hal tersebut keesokan harinya, kalo ketemu. Haha.
Oke, balik lagi ke topic inti postingan gue kali ini,
tentang penggunaan jilbab yang menuai banyak ‘kenggumunan’ orang2 non muslim.
Selama gue dan temen2 berada di negara yang mayoritas
penduduknya adalah Buddhist dan Taoism (percaya pada nenek moyang/ roh2 nenek
moyang), kami bener2 berasa mirip artis. Hal itu nggak lain nggak bukan adalah
karena jilbab. Bahkan nggak sedikit orang yang tiba2 berubah sosok jadi
paparazzi demi bisa mendapatkan foto kami. Mereka dengan santai dan excited-nya
loh, memfoto kami secara sembunyi-sembunyi. Awalnya sih gue seneng2 aja, tapi
lama kelamaan gue ngerasa risih. Takutnya, foto gue dibikin aneh2, mukanya gue,
tapi badannya badan orang lain yang lagi bugil. Oh my god, that’s not funny.
Kemudian, ketika kami pergi ke Tamsui, salah satu tempat
wisata di Taiwan yang ada pelabuhannya, kami disambut dengan puluhan fotografer
amatiran yang ngantri dan memohon dengan sangat untuk bisa memfoto kami sebagai
object fotonya. Berawal dari gue, cici, kak ida, mbak cendy, mbak susan, n kak
aric yang lagi foto2 di pintu masuk tempat wisata tersebut, kemudian dari
kejauhan muncullah berpuluh2 sosok makhluk2 paruh baya yang mengalungkan kamera
fotografi dengan berbagai macam merk unggulan, Nikon, canon, dll. Sepintas kalo
ngeliat gaya mereka, nggak ditangguhkan lagi kehebatan memotretnya, secara
kameranya oke punya mameeennn, mungkin sampe belasan hingga puluhan megapixel.
Tapi setelah ngeliat hasil foto mereka, ampuuunnn kacrut banget deh istilah
kasarnya. Bener2 amatiran, terlalu banyak shaking n gak fokus. Ya nggak
bermaksud sombong juga sih, bagusan hasil jepretan gue deh kemana-mana.
Hahahaha.
Awalnya, mereka tertarik sama Citra/ Cici, temen gue, mereka
minta Cici untuk difoto, tapi matanya aja yang keliatan, mukanya ditutup cadar
gitu. Tapi akhirnya, semua dari kami pun diminta untuk jadi objek. Gue, kak
ida, mbak susan, n mbak cendy, diminta untuk jadi objek latihan fotografi tapi
Cuma punggungnya yang difoto dengan laut sebagai backgroundnya. Pada mulanya
gue enjoy, tapi lama kelamaan ngganggu banget, bahkan hampir 30 menit kami
disuruh jadi objek foto mereka. Berkali2 gue bilang, “is that enough?” dan
berkali2 pula mereka bilang: “not yet, once more.” Bilangnya sih once more,
tapi ya nyatanya more n more n more. Dan setiap disudahkan, kemudian gue pindah
ke tempat lain, mereka ngikutin dan tetep aja nyuri2 foto, dan ada pula yang
masih getol minta foto kami.
Sebagai buktinya, gue tampilin beberapa bukti foto ketika
kami jadi artis sehari. No hoax lho ini :)
Dahsyat banget kan? Haha. Oiya, nggak cuma punggung aja yang
difoto, tapi begitu liat kaki gue, mereka malah memotret kaki gue n temen2 lainnya,
iya KAKI, KAKI SODARA-SODARA, KAKI yang difoto, bukan muka, bukan, bukan
banget!!!